Oleh
*Dr. Agus Syihabudin, MA.*
(Dosen Agama dan Etika Islam ITB / Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Kota Bandung)

*Soal*

Tadi nguping ceramah online anu nyebatkeun ari pameget teh gaduh hak poligami.

Tah kumaha kaitan an Nisa ayat 3 anu nyaratkeun adil sareng an Nisa ayat 129 anu negeskeun moal tiasa adil? Kumaha tafsirna!Sareng kumaha kadudukan izin poligami?

Nuhun Buya.
H. P. A. Akbar

*Jawab*

Secara sepintas, kedua ayat tersebut seperti berlawanan. Al-Nisa ayat 3 dipersepsi sebagai suruhan untuk menikah secara poligami tapi dengan syarat harus adil. Sementara Al-Nisa ayat 129 menyatakan bahwa pada dasarnya seorang pria tak akan sanggup berbuat adil. Benarkah keduanya berlawanan? Jawabnya tidak. Kedua ayat tersebut tidak bersifat _mutanaqidh_ atau bertentangan satu sama lainnya, melainkan justru saling melengkapi.

Perhatikanlah kedua ayat tersebut di bawah ini:

Al-Nisa ayat 3 berbunyi:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”

Al-Nisa ayat 129 berbunyi :

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”

Berpoligami merupakan kecenderungan manusia yang bersifat fitrah, dan telah menjadi bagian dari fenomena kehidupan manusia di hampir semua suku bangsa sejak dahulu kala, serta dikenal atau diatur atau sekurang-kurangnya disebut dalam hampir semua sumber agama.

Sebagai tatanan hidup yang sejalan dengan fitrah manusia, Islam membuka peluang bagi pria yang memiliki kecenderungan kuat dan daya tertentu untuk melakukan poligami dengan menetapkan batas hingga empat istri.

Pembatasan ini merupakan aturan objektif ketika dikontekskan dengan realita poligami tanpa batas yang berlaku pada budaya manusia di berbagai belahan dunia.

Selain aspek batas, Islam juga menekankan aspek keadilan sebagai penuerta kuat poligami. Maksudnya, memerintahkan dengan sangat keras kepada yang berkecenderungan kuat berpolimi untuk berlaku adil kepada para istrinya. Hal demikian terkandung secara eksplisit dalam Al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 3 di atas.

Keadilan terhadap para istri dalam arti memperlakukan mereka secara benar-benar sama, tentunya bukanlah perbuatan yang ringan, bahkan faktanya sangat sulit untuk diwujudkannya.

Oleh karenanya bagi pria yang berkecenderungan kuat berpoligami hendaknya membekali dirinya dengan semangat keadilan, orientasi sikap adil, dan berusaha dengan penuh kesungguhan untuk memperlakukan semua istrinya secara sama, atau sekurang-kurangnya tidak memiliki tendensi (kecenderurngan) dan mendemonstrasikan sikap atau perlakuan yang membedakan satu istri dari lainnya Ajaran ini ditunjuk Al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 129. (Lihat Tafsir Al-Kabir li Al-Razi, Juz 11, Halaman 78)

Dengan demikian, kedua ayat Al-Nisa 3 dan 129 itu sesungguhnya menunjuk pada makna yang sejalan, tidak berlawanan, yang intinya bukan mempersyaratkan poligami dengan sikap adil, tapi memberikan arahan dan tuntunan untuk memiliki cara pandang berkeadilan, bertendensi adil, dan bersungguh-sungguh memperlakukan para istrinya secara adil.

Memang, Islam memang membuka peluang bagi laki-laki yang super daya untuk berpoligami secara terbatas maksimal empat istri, dan menuntunnya supaya berbuat adil kepada para istrinya.

Islam juga mengingatkan bahwa berbuat adil bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. Oleh karenanya, kecenderungan dan kemampuan untuk berlaku adil hendaknya dijadikan bahan pertimbangan secara matang sebelum memutuskan akan melakukan poligami.

Sekiranya merasa hawatir atau menyadari tidak memiliki kecukupan daya dalam arti yang luas, yakni daya jasmani, mental, finansial dan lain-lainnya untuk kemungkinan bisa berlaku adil, maka hendaknya mencukupkan dengan menikahi seorang perempuan saja. (Lihat: Ibnu Katsir, Juz 3 hal. 346).

Sesungguhnya kalimat فواحدة dalam Al-Nisa ayat 3 menunjuk pada kecukupan hanya menikahi satu perempuan atau monogami sebagai prinsip dasar nikah yang diajarkan Islam. (Lihat: Al-Raji, Tafsir Al-Kabir, Juz 9, Qyat 182).

Selain perintah adil, Islam juga sangat menekankan arti penting tanggungjawab sebagai konsekwensi nikah. Nikah merupakan ikatan janji yang tidak biasa. Al-Qur’an merumuskannya dengan redaksi _mitsaqan ghalidhan_ yang diulang tiga kali dalam konteks nikah (Al-Nisa 21), perjanjian sebuah bangsa (Al-Nisa 159), dan perjanjian para Nabi dengan Allah (Al-Ahzab 7). Redaksi _mitsaqan ghalidhan_ ini mengisyaratkan bahwa nikah merupakan ikatan yang agung, suci, dan mulia seperti halnya ikatan para Nabi dengan Allah.

Secara bahasa, kalimat _mitsaqan ghalidhan_ berarti janji yang tebal. Makna ini mengisyaratkan bahwa akad nikah meskipun redaksinya ringkas dan sederhana tapi merupakan ikatan janji yang tidak enteng untuk ditunaikan, dan memberikan tanggungjawab yang sangat besar. Pertanggungjawaban seorang suami tidak sekedar dalam bentuk perlindungan secara fisik material termasuk memenuhi kebutuhan fasilitas hidupnya, tapi juga kepemimpinannya untuk memastikan istri dan keturunannya berada pada jalan yang diridhai Allah SWT. Hal demikian terkandung dalam narasi wahyu Allah, _al-Rijalu qawwamuna ‘alan nisa_, bahwa laki-laki harus memberikan perlindungan kepada wanita (Q.S. Al-Nisa ayat 34)

Oleh karenanya, Nabi Muhammad SAW bersabda: _Ittaqulloha fi al-nisa, fainnakum akhadtumuhunna biamanatillah wa istahlaltum furujahunna bikalimatihi._ (riwayat bersumber dari Rabi bin Anas). Demikianlah arahan Nabi yang mengingatkan kepada setiap pria beriman yang beristri untuk merawat takwa khususnya terkait dengan istrinya yang dia ambil karena Allah titipkan kepadanya dan dia halal untuk bergaul dengannya karena kalimat Allah.

Satu istri saja sungguh berat untuk mempertanggungjawabkannya. Tentunya menjadi berlipat-lipat berat responsibilitas-nya sekiranya seorang suami beristrikan lebih dari satu. Sudut pandang ini harusnya menjadi konsiderasi penting bagi seorang laki-laki sebelum memutuskan berpoligami.

Kemudian, nikah merupakan wahana untuk mewujudkan sakinah atau ketentraman (Q.S. Al-Rum 21). Sejalan dengan tujuan nikah ini maka haruslah dipastikan bahwa nikahnya yang kedua dan seterusnya semakin menambah ketentraman hidup. Untuk itu, berpoligami hendaknya disertai dengan keikhlasan istrinya, sebab tanpa keikhlasan istrinya untuk dimadu akan menjadi sumber kerecokan rumahtangga dan semakin terjauh dari ketentraman.

Supaya istri ikhlas untuk dimadu, maka sebelum melakukan poligami hendaknya memberi tahu istrinya akan rencana poligami disertai berbagai ikhtiar untuk melapangkan hatinya dengan edukasi dan pemberian apa saja yang dapat menggembirakannya. Dengan edukasi dan pemberian ini diharapkan istrinya memiliki kesiapan mental untuk dapat melayani suaminya yang akan menduakan hatinya.

Seorang laki-laki yang berpoligami karena alasan haknya semata-mata tanpa adanya keterbukaan kepada istrinya dan ikhtiar mengedukasinya serta hal lainnya seperti digambarkan di atas tentunya seperti mengejar enaknya sendiri, bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai sosok yang mencerminkan tiadanya sikap tanggungjawabnya dan sekaligus mengabaikan tujuan nikahnya itu sendiri, yakni ketentraman. Cara pandang ini juga seharusnya menjadi bagian penting dalam mempertimbangkan poligami.

Syariah Islam sangat akomodatif terhadap adat istiadat sepanjang tidak berbenturan dengan akidah dan semakin memberikan kelengkapan aturan menuju keteraturan dan ketentraman hidup bermasyarakat.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, para ulama telah membuatkan kaidah : _al-‘adah muhakkamah_ , bahwa adat istiadat dapatlah kemudian diposisikan menjadi hukum (syari’ah) yang mengikat.

Dalam kehidupan berbangsa di negara Indonesia yang kita cintai ini, telah diformalkan aturan yang meniscayakan nikah poligami atas dasar persetujuan istri. Tak ada nikah kedua jika tanpa disertai dengan izin istri pertamanya, tak ada nikah ketiga tanpa izin kedua istrinya, dan demikian seterusnya. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.

Ketentuan tersebut dapat diposisikan sebagai adat yang tidak bertentangan dengan syariah Islam, tapi justru melengkapi aturan kemasyarakatan kita menuju pada kehidupan penuh tentram dan damai. Oleh karenanya, setiap Muslim wajib tunduk pada ketentuan adat yang melengkapi aturan hidup ini, sehingga karenanya tidak ada poligami tanpa disertai izin istrinya.

Jadi, bagi seorang muslim yang punya daya lebih dan memiliki kecenderungan berpoligami secara _syari’ah_ Islam dan ‘ _adah_ terbuka baginya untuk menikahi dua atau tiga sampai empat istri, tetapi hendaknya disertai izin istri-istrinya. Untuk itu, lakukanlah edukasi terhadap istrinya, dan bujuklah istrinya untuk merelakannya. Sekiranya istrinya rela dan mengizinkan poligami dapatlah kemudian merealisasikannya. Sekiranya belum rela dan masih tidak mengizinkannya, ya lakukanlah lagi berbagai ikhtiar untuk membuatnya ikhlas dan mendapatkan izinnya, dan begitu seterusnya sampai hati istrinya luluh, mentalnya kuat dan siap untuk menerima kenyataan yang akan dihadapinya.

_Syari’ah_ dan _’adah_ adalah dua aturan yang bisa saling melengkapi untuk membangun kehidupan yang maju dalam kebersamaan dan bersama penuh keharmonisan, seperti dalam pepatah: _in harmonia progressio._

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *