Oleh
*Buya Dr. Agus Syihabudin, MA.*
Dosen Agama dan Etika Islam ITB.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Kota Bandung.

*Soal*

Assalamualaikum pak Agus. Pak saya mau tanya soal waris. Ibu saya kemarin waktu lebaran mengemukakan ingin memberikan rumah di Bandung ke kakak saya yang no 1. Pertanyaannya, ibu saya tidak bekerja, jadi rumah tersebut dibeli oleh Bapak yang single income. Apakah dibenarkan secara syariat Islam ibu memberikan rumah itu ke kakak saya? Karena setahu saya hak istri hanya 1/8 dari waris suami yang sudah meninggal.

Haturnuhun
Asri

*Jawab*

Tirkah atau harta yang ditinggalkan oleh almarhum ayahanda berupa rumah sebagaimana yang ibu sebutkan sebelum dibagikan kepada para ahli waris, wajib terlebih dahulu diselesaikan terkait dengan apa yang menjadi hak-hak adami, yakni urusan wasiat dan hutang-hutangnya sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an:

مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ

“(Warisan dibagikan) setelah (menyelesaikan) wasiat dan hutangnya” (Al-Nisa, 11).

Baginda Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Abu Hurairah mengingatkan tentang tergadainya jiwa seseorang selama hutangnya belum diselesaikan:

نفس المؤمن مُعلَّقَةٌ بدَيْنِه حتى يُقْضَى عنه (رواه أحمد والترمذي)

“Jiwa seorang mukmin tergadai dengan hutangnya sehingga dilunasi oleh (ahli warisnya)” (H.R. Ahmad dan Tirmizi)

Setelah menyelesaikan urusan wasiat dan hutang almarhum, langkah selanjutnya adalah menyelesaikan status harta yang ditinggalkan tersebut dalam perspektif hubungan suami istri menurut aturan adat. Di negara kita telah berlaku ketentuan bahwa harta yang diperoleh dalam ikatan rumah tangga dinyatakan sebagai milik berdua suami istri atau dikenal dengan istilah harta gono gini.

*Sekilas tentang Harta Gono Gini*

Ikatan perkawinan menurut Undang Undang (UU) Perkawinan pasal 35 ayat 1 mengondisikan adanya harta bersama suami dan istri. Ketentuan harta bersama ini sebagaimana ditunjuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 85 tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Misal harta bawaan sebelum menikah, hibah yang diperoleh, dan warisan yang diterima adalah merupakan harta milik masing-masing suami istri atau tidak termasuk dalam harta bersama. Demikianlah hukum yang berlaku dalam kehidupan berbangsa di negara yang kita cintai. Oleh karenanya, soal harta bersama ini perlu dibicarakan terlebih dahulu sebelum sisa tirkah (setelah penyelesaian wasiat dan hutang) itu dinyatakan sebagai warisan.

Perlu dicermati, bahwa UU Perkawinan dan KHI khususnya tentang harta bersama dalam ikatan perkawinan ini bukanlah ketentuan yang mengatur tentang bagi waris, melainkan mendudukkan status perkawinan dan civiel effect-nya dalam kehidupan berbangsa. Nampaknya terdapat argumen sosio ekonomi yang melatari lahirnya aturan negara yang mengikat seluruh warga Indonesia ini. Istri di dalam budaya kehidupan berkeluarga di masyarakat kita berbeda dengan cara berkeluarga di masyarakat lainnya. Misalnya, umumnya para perempuan di Indonesia tidak berlaku pasif dalam konteks ekonomi sehingga hanya berbelanja untuk keperluan sehari-hari dengan sumber pendapatan tunggal dari suami, melainkan turut membantu suami dalam aktifitas berekonomi, atau sekurang-kurangnya turut berperan aktif dalam mengelola keuangan keluarga. Fakta sosio-ekonomi lain misalnya adalah kecenderungan budaya masyarakat yang tidak memisahkan harta suami dari milik istri, dan demikian sebaliknya, sehingga terjadilah percampuran harta yang diperoleh kedua suami istri mulai dalam aset rumah, kendaraan, dan aset lainnya hingga untuk biaya kehidupan sehari-hari berkeluarga. Berangkat dari backgorund sosio ekonomi ini, negara menetapkan bahwa harta yang diperoleh seseorang setelah dia kawin sebagai milik dia dan pasangannya. Karenanya, seseorang yang bermaksud menghibahkan hartanya kepada pasangannya akan ditolak negara kecuali dari harta yang tidak termasuk harta bersama. Akibat selanjutnya, jika terjadi cerai di antara suami istri, maka yang diperoleh dalam ikatan keluarga niscaya dibagi dua. Demikian pula bila salah seorang dari suami istri wafat, setengah dari harta bersama ini milik pasangan yang masih hidup, sementara setengah lainnya merupakan warisan almarhum.

Ditinjau dari konteks pembinaan hukum Islam, aturan harta gono gini perkawinan ini dapat dikualifikasi sebagai ijtihad dengan pola mashalah mursalah. Maksudnya, merumuskan solusi dari problematika sosial dengan menitikberatkan pada terwujudnya kemaslahatan dalam keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, UU Perkawinan dan KHI dapat dikualifikasi sebagai produk ‘adah (adat) yang melengkapi ketentuan tentang perkawinan yang ada dalam syariah Islam.

Terkait dengan masalah harta bersama ini perlu dimusyawarahkan dan disepakati terlebih dahulu dengan fokus bahasan: apakah akan diefektifkan atau tidak. Jika ketentuan gono-goni disepakati untuk diberlakukan, maka otomatis rumah tirkah almarhum perlu dibagi dua terlebih dahulu. Setengahnya dianggap milik istri, dan setengah lainnya milik suaminya. Karena kini suaminya wafat, maka harta yang setengah (milik suaminya) itu menjadi warisan yang dibagikan kepada ahli warisnya.

Apakah kesepakatan memberlakukan harta gono gini menyalahi aturan Islam dengan alasan karena Islam telah mengatur detail soal warisan? Jawabnya tentu tidak, sebab UU dan KHI ini, sekali lagi tidak mengatur soal waris, melainkan tentang perkawinan dalam kehidupan berbangsa bernegara sebagaimana telah dipaparkan di atas.

Namun demikian, sekiranya para ahli waris bersepakat untuk tidak memberlakukan aturan harta gono gini, juga tidak mengapa, sebab ini terkait dengan kehidupan kemasyarakatan. Yang penting masyarakat “ahli waris” bersepakat, dan kesepakatan ini diperoleh dengan berlandaskan pada azas-azas kebijaksanaan, keterbukaan dan disertai keikhlasan.

Menyepakati tentang status harta gono gini menjadi penting, sebab masalah ini dapat memicu mudharat yakni timbulnya persengketaan di antara ahli waris. Sebagai dapat dimaklum bahwa istri almarhum memiliki legal standing yang sah menurut hukum yang berlaku di negara kita untuk melakukan gugatan hukum perdata ke Kantor Pengadilan Agama. Sesuai aturan yang berlaku, maka tentunya hakim akan mengabulkan pihak penggugat.

Sengketa lewat pengadilan perlu dihindari sebab akan memicu kemudaratan yang meluas dalam keluarga besar almarhum. Melalui suatu kaidah, para ulama telah merumuskan cara-cara menyelesaikan suatu masalah:

دَرْءُ المَفَاسِدُ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ

“Mencegah kerusakan (kemudaratan) haruslah diprioritaskan dari pada melakukan kebaikan” (Lihat: Al-Asybah wa al-Nadhair, 1: 105).

Dengan demikian, maka sekali lagi, sisa tirkah (setelah penyelesaian wasiat dan hutang almahrum), perlu terlebih dahulu dimusyawarahkan terkait status harta gono gini. Jika aturan gono gini disepakati untuk diefektifkan, maka yang jadi warisan adalah setengah dari sisa tirkah. Sebaliknya jika tidak diefektifkan, maka semua sisa tirkah tadi otomatis menjadi warisan.

*Kesepakatan Hasil Musyawarah sebagai Strategi Bagi Waris*

Bermusyawarah adalah merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat manusia yang diajarkan dan sangat ditekankan Islam. Allah SWT bertitah:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka berkat rahmat Allah lah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Q.S Ali Imran: 159).

Bermusyawarah bukan saja penting dilakukan dalam urusan sosial kemasyarakatan, tapi hendaknya juga menjadi instrumen utama dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan seseorang yang telah wafat. Tentu saja, musyawarah perlu dilakukan dengan penuh kebijaksanaan yang berujung dengan kesepakatan yang dilandasi keihlasan. Jika para ahli waris tidak bersepakat maka akan menjadi sebab lahirnya mudarat. Kemudaratan terkait ekonomi berpotensi menimbulkan mafsadah yang luas dan signifikan dalam hubungan keluarga almarhum. Sebaliknya, jika kesepakatan bisa diraih, maka perdamaian keluarga menjadi terwujud. Kedamaian dalam urusan ekonomi keluarga adalah merupakan ciri dan sekaligus bukti adanya kemaslahatan dalam keluarga almarhum.

Dalam proses musyawarah menuju suatu perdamaian atau kesepakatan, terkadang ada pihak yang harus merelakan sebagian dari apa yang berkemungkinan menjadi haknya demi terwujudnya kemaslahatan yang lebih besar dalam keluarga, yaitu terpeliharanya kerukunan, terkukuhkannya keguyuban, dan terbangunnya sikap takafulul ijtima, yakni rasa sepenanggungan, sikap saling melindungi, dan kecenderungan saling memberdayakan. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sesuai riwayat ‘Amr bin ‘Auf:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Perdamaian adalah boleh di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram“ (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Membagikan harta waris adalah juga penting untuk diselenggarakan dengan perspektif kepentingan almarhum, bukan semata-mata dilihat dari sudut hak para ahli waris almarhum atas harta yang ditinggalkannya.

*Perspektif Kepentingan Almarhum sebagai Basis Bagi Waris*

Kepentingan almarhum adalah terwujudnya ketakwaan pada seluruh sanak keturunannya. Mereka merupakan wahana investasi almarhum yang akan menjadi sumber pahalanya selama berada di alam Barzah. Sementara ciri utama dari takwa adalah kesediaan untuk memberi dan berbagi. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 133:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”

Sesungguhnya membagikan harta waris yang ditinggalkan seorang almarhum adalah momen yang sangat penting untuk membangun sikap takwa dari seluruh sanak keluarga almarhum, yang dicirikan dengan jiwa lapang yang cenderung memberi dan berbagi.

Kepentingan almarhum tentunya bukan saja terbangunnya sikap saleh pada seluruh sanak keturunannya, tetapi juga tumbuhnya keunggulan pada berbagai aspek kehidupan mereka mulai jasmani, intelektual hingga aspek ekonominya.

Kondisi ekonomi sanak keturunan almarhum mungkin berbeda satu dari lainnya. Ada di antara mereka yang kuat, bahkan kuat sekali, tapi juga mungkin ada yang lemah, dan bahkan lemah sekali. Maka membagikan harta waris merupakan moment penting untuk saling memberikan penguatan utamanya membantu pemulihan keadaan ekonomi mereka yang lemah. Hal demikian diisyaratkan Al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”

*Jawaban untuk Soal ibu Asri*

Kembali ke masalah pertanyaan ibu Asri. Setelah wasiat dan hutang almarhum diselesaikan, dan disepakatinya keefektifan atau tidaknya aturan gono gini, maka langkah berikutnya adalah membagikan warisan kepada para ahli waris.

Rumah peninggalan ayahanda tersebut merupakan tirkah dari almarhum yang menjadi hak semua ahli warisnya, yang meliputi ibunda selaku istri almarhum dan empat orang anaknya termasuk ibu Asri sendiri.

Hak ibunda, jika aturan gono gini disepakati diberlakukan, maka setengah dari rumah tersebut merupakan miliknya, ditambah dengan hak waris beliau sebesar 1/8 dari setengah lainnya, atau hak beliau menjadi 62,5 % dari nilai rumah tersebut. Sementara sisanya, yakni 37,5 % merupakan hak waris empat orang anak almarhum. Jika tidak diberlakukan, maka hak ibunda adalah 1/8 atau 12,5 % saja dari nilai rumah tersebut, dan sisanya (87,5%) merupakan hak waris para anak almarhum.

Lalu sesuai pertanyaan ibu, apakah boleh ibunda memberikan rumah tersebut kepada salah seorang dari empat orang ahli waris almarhum? Jawabnya tentu boleh-boleh saja, namun yang bisa beliau berikan adalah senilai apa yang menjadi haknya. Sekiranya 100 % dari rumah tersebut diberikan juga ya boleh-boleh saja, sepanjang tiga orang ahli waris lainnya juga menyepakati. Artinya, bukan saja ibunda tapi juga tiga anak almarhum bersepakat menghibahkan hak warisnya kepada salah seorang saudaranya.

Demikian, semoga bermanfaat.
_Wallohu a’lam bis showwab_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *