Oleh

 *Dr. Agus Syihabudin, MA.*
Dosen Agama dan Etika Islam ITB.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Kota Bandung

Awal Ramadhan tahun ini di Saudi Arabia menurut Ibrahim Al-Jarwa, salah seorang anggota Arab Federation of Space and Astronomy Science akan jatuh pada hari Sabtu tanggal 2 April 2022. Sementara Idul Fithri jatuh pada hari Senin, 2 Mei 2022. (https://gulfnews.com/uae/uae-ramadan-eid-al-fitr-dates-in-2022-1.1634122685206). Bagaimanakah kemungkinannya di Indonesia. Akankah kaum Muslimin memulai shaumnya secara serempak?

Kaum muslimin di negara yang kita cintai ini tentunya sangat berharap agar dapat memulai shaum di tahun 1443 Hijriyah atau 2022 Miladiyah secara serentak sehingga melakukan sahur dan buka puasa secara bersama-sama. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau para penghuni dalam satu keluarga terbelah dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Sebagiannya memulai shaum di hari Sabtu 2 April 2022, sementara sebagian lainnya di hari Ahad 3 April 2022. Meskipun sudah terbiasa menghadapi kenyataan adanya perbedaan dalam melaksanakan ajaran agama, namun sungguh terasa jauh dari nyaman jika harus melakukan kegiatan-kegiatan ibadah dan amal saleh di awal dan selama satu bulan suci Ramadhan secara berbeda di antara saudara, apalagi kalau misalnya perbedaan itu terjadi antara anak dan ibu bapak, dan terlebih-lebih kalau terjadi di antara suami dan istri.

Pada tahun 2022 ini potensi terjadinya perbedaan tersebut nampaknya sangat terbuka. Hal ini mengingat posisi hilal menjelang bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi ini sangat memungkinan untuk tertafsirkan secara berbeda. Kemungkinan adanya perbedaan ini seperti dijelaskan T. Djamaludin karena adanya perbedaan dalam menentukan kriteria terlihatnya hilal. Sementara dalam hemat penulis akar perbedaan tersebut terletak pada adanya perbedaan metode dalam melihat hilal.

*Posisi hilal jelang bulan Ramadhan 1443*

Posisi hilal pada saat maghrib 1 April 2022 menurut pehitungan astronomi berada di kisaran 2 derajat. Hanya wilayah Barat Jawa dan Sumatera yang posisi hilalnya di atas sedikit dari 2 derajat. (Lihat: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2021/08/22) ). Pada kalender Majelis Ulama Indonesia Kota Bandung tertera bahwa Ijtima Awal Bulan Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Jum’at tanggal 1 April 2022 pukul 13:25 WIB, tinggi hilal pada saat matahari tenggelam adalah +01:48:25 (T)/+02:45:03 (G), Elongasi +03:09:34 (t) dan umur hilal +4 JAM 33 menit. Keterangan di Kalender MUI klop dengan yang dirilis LAPAN bahwa posisi hilal pada maghrib 1 April 2022 di kisaran 2 derajat.

*Rukyah sebagai metode penentuan bulan Ramadhan*

Dewasa ini umat manusia telah berjaya menorehkan perkembangan ilmu secara membanggakan tentang lalu lintas bumi, bulan dan matahari. Melalui alat bantu perangkat komputer, analisis astronomis moderen menghasilkan keluaran perhitungan yang presisif sehingga tidak lagi berbeda dalam memetakan posisi ketiga bumi-bulan-matahari.

Namun demikian, perbedaan yang terjadi dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan bukan lagi terkait dengan analisis astronomisnya melainkan pada tafsir bagaiman cara melihat hilal yang sudah terpetakan secara astronomis itu.

Acuan tafsrinya adalah sabda Nabi yang memerintahkan memulai puasa dan mengakhirinya dengan melihat hilal:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah dengan melihat (hilal) dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat (hilal)” (H. R. Muslim, no. 1081).

Sebagian kaum muslimin menafsirkan “melihat hilal” dalam sabda Nabi tersebut cukup secara tekstual, maksudnya melihat dengan mata telanjang. Konsekwensinya, jika hilal terlihat di waktu maghrib akhir bulan Sya’ab, maka malam tersebut telah masuk ke bulan Ramadhan. Sebaliknya, jika hilal belum terlihat karena tertutup awan misalnya atau karena hal lainnya, maka solusinya dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, sehingga awal Ramadhan jatuh pada esok malamnya.

Jika metode Rukyah (melihat dengan mata) ini diaplikasikan ke hasil perhitungan astronomis di tahun 2022 di atas, maka seperti tersebut dalam Almanak BMKG bahwa 1 Ramadhan akan jatuh pada hari Ahad, 3 April 2022, dan 1 Syawal 1443 akan jatuh pada hari Selasa 3 Mei 2022. (Lihat: Almanak BMKG, pdf, Hal. 9).

Perkiraan BMKG tersebut didasarkan pada posisi hilal pada saat maghrib 1 April 2022 masih di kisaran 2 derajat sehingga secara ilmu tidak mungkin dapat dirukyah. Oleh karenanya, 2 April 2022 otomatis akan menjadi penggenapan bulan Sya’ban, dan 1 Ramadhan akan dimulai pada esok malamnya, 3 April 2022. Demikian pula posisi hilal pada 1 Mei 2022 secara ilmu berpotensi tidak terukyah oleh mata, dan berkonsekwensi kepada jatuhnya 1 Syawal 1443 pada esok malamnya, yakni 3 Mei 2022.

Bagi pengguna metode Rukyah, pehitungan astronomis digunakan hanya sebagai alat bantu untuk memandu arah untuk melihat hilal. Adapun keputusan awal dan akhir Ramadhan mesti ditentukan oleh hasil penglihatan mata telanjang atas hilal itu sendiri.

*Menentukan bulan Ramadhan dengan metode Hisab*

Berbeda dari Rukyah, metode Hisab adalah menggunakan perhitungan astronomis sebagai instrumen utama dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.

Bagi kelompok metode Hisab ini, hilal pada saat maghrib 1 April 2022 telah berada di ufuk dan secara ilmu dianggap telah terlihat. Karenanya, tanggal 2 April dinyatakan telah masuk bulan Ramadhan. Demikian pula hilal pada saat maghrib 1 Mei 2022 telah berada di ufuk, sehingga 2 Mei dinyatakan telah masuk ke bulan Syawal. Jadi 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu 2 April 2022, dan 1 Syawal 1443 H jatuh pada hari Senin 2 Mei 2022.

Kelompok ini mendalilkan pada melihat hilal cukup dengan ilmu. Secara kasat mata, keberadaan hilal pada 1 April 2022 ini berpotensi tidak bisa terukyah karena posisinya di atas ufuk masih di kisaran 2 derajat. Namun berapa pun nilai yang menggambarkan posisi hilal, asalkan menurut ilmu astronomi sudah di atas ufuk, misalnya hanya nol koma sekian derajat, maka hilal itu sudah dianggap terlihat. Perintah Nabi sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim supaya melihat hilal buat memulai dan mengakhiri shaum tidak dimaknai secara tekstual, yakni harus dengan mata telanjang, melainkan secara kontekstual, yakni cukup dengan ilmu.

Dalam hasanah ilmu, pemaknaan secara kontekstual seperti ini adalah sesuatu yang lazim. Pemaknaan kontekstual seringkali pula digunakan dalam memahami ayat Al-Quran. Misalnya perintah Allah supaya berhenti makan dan minum (sahur) ketika telah jelas beda benang putih dari benang hitam (Al-Baqarah 188). Secara tekstual, ayat ini memberi faham bahwa berhenti sahur adalah dengan melihat benang putih dan benang hitam. Jadi, jika benang yang putih sudah nampak jelas maka pertanda sahur harus berhenti. Tapi umumnya kita memaknai ayat ini secara kontekstual sehingga berhenti sahur tidak lagi dengan memajang dua benang hitam dan putih, tapi cukup dengan melihat jam apakah sudah menunjukkan waktu imsak. Artinya, ayat tersebut difahami secara kontekstual sehingga instrumen melihat bedanya benang putih dari yang hitam itu tidak lagi dengan mata telanjang, tapi cukup dengan ilmu hisab.

Ibnu Umar meriwayatkan sabda Nabi yang menjelaskan bahwa jika tidak dapat melihat hilal, maka faqduruu lahu atau perkirakanlah (H. R. Muslim no. 1080). Maksudnya, bahwa memperkirakan posisi hilal tentunya dengan ilmu, yakni dengan menghitung posisinya (Lihat Fatwa Al-Qardhawi).

Ketika Nabi berbicara terkait bilangan bulan, beliau memulainya dengan statemen: “Kami kaum yang ummi, tidak dapat menulis dan menghitung. Maka bulan bagi kami adalah begini dan begini” (H.R. Bukhari no. 1913, dan Muslim no. 1080)”. Sabda ini menjadi indikator objektif bahwa ilmu –yang kini dinamai dengan Ilmu Astronomi dengan basis computerize sehingga kaluarannya menjadi sangat akurat– merupakan instrumen esensial untuk menentukan hilal. Melihat dengan mata seolah-olah menunjuk pada sumber daya minimum yang dimiliki manusia dalam melihat munculnya bulan baru atau hilal.

Dalam situasi ketiadaan ilmu astronomi, tentu tidak ditemukan opsi lain kecuali melihat hilal dengan penglihatan mata.

Demikianlah beberapa argumentasi yang melandasi kelompok pengguna metode Hisab. Berdasarkan pada metode ini, ormas Muhammadiyah telah merilis 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022, dan 1 Syawal 1443 jatuh pada hari Senin, 2 Mei 2002.

*Harapan bersama untuk kekhusyuan ibadah*

Perbedaan kedua metode di atas telah terjadi sejak lama dan akan terus muncul karena bukan sulit tapi memang nampaknya tak mungkin dapat dikompromikan.

Ketika suatu waktu hilal menjelang bulan Ramadhan misalnya di posisi 4 derajat atau lebih, maka dapat dipastikan kaum muslim akan memulai ibadah shaum Ramadhan secara serentak. Sebabnya, bagi pengguna metode Hisab jangankan 4 derajat, andai 1 derajat pun hilal itu sudah diangggap terlihat. Sementara pengguna metode rukyah pun akan bisa melihat hilal dengan mata. Lain soal ketika hilal menjelang bulan Ramadhan hanya di posisi 1 atau 2 derajat seperti yang terjadi pada tahun 2022 ini. Bagi pengguna metode Hisab otomatis menganggapnya telah masuk bulan Ramadhan, sementara pengguna metode Rukyah tak akan bisa merukyah hilal tersebut sehingga otomatis awal bulan Ramadhan jatuh pada esok malamnya.

Kita berharap semoga hilal pada saat maghrib 1 April 2022 dapat dirukyah sehingga dapat mengawali shaum secara serentak. Sekiranya dihadapkan pada kenyataan hasil rukyah negatif, maksudnya hilal tak dapat dilihat, maka berarti sebagian dari kita akan memulai shaumnya pada hari Ahad tanggal 3 April 2022. Jika kenyataan pahit ini terjadi, mari kita lapangkan dada untuk kembali menerima kenyataan adanya perbedaan ini.

Kita jaga terus semangat untuk berikhtiar penuh khusyu dalam menjalankan ibadah dan amal saleh, sambil tetap memelihara rasa kebersamaam dan menghormati perbedaan amaliah sesuai keyakinan ilmunya. Memang tidak mudah jika berbeda, tapi dalam kondisi yang tidak diharapkan seperti ini boleh jadi tersimpan anugerah dan rahmat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *