Oleh : Dr. Ir. Kahar Mulyani, MM.
(Dewan Pengawas Syariah dan Founder TAJIR, Anggota Komisi Pendidikan dan Pelatihan MUI Kota Bandung)

Manusia diciptakan, dihidupkan dan dimatikan semuanya atas kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sesuai dengan Firman-Nya dalam Surat Al-Mukminun ayat 67 yang artinya sebagai berikut :

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, Kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), Kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).   Dia-lah   yang   menghidupkan   dan   mematikan,   Maka   apabila   dia menetapkan sesuatu urusan, dia Hanya bekata kepadanya: “Jadilah”, Maka jadilah ia.” (QS. Al Mukminun 67)

Tujuan manusia dihidupkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentu bukan hanya sekedar untuk hidup, melainkan untuk beribadah kepada-Nya, sesuai dengan   Surat Adz Dzariyat ayat 56 sebagai berikut :

Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat 56).

Ibnu  Katsir  dalam  tafsirnya  mengatakan  maksudnya  adalah,  Aku  ciptakan  mereka  itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena aku membutuhkan mereka. Mengenai Firman Allah Ta’ala –illa liya’buduun– “Melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. ‘Ali  bin Thalhah meriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Abbas : Artinya, melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa. Dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir. Sedangkan Ibnu Juraij menyebutkan : Yakni, supaya mereka mengenal-Ku. Masih mengenai Firman Allah Ta’ala –illa liya’buduun- Melainkan   supaya   mereka   beribadah   kepada-Ku.   Ar-Rabi   bin   Anas   mengatakan  : Maksudnya tidak lain kecuali untuk beribadah. (Tafsir Ibnu Katsir Juz 27 Halaman 546).

Dari penjelasan di atas, kita hidup tidak sekadar hidup, tetapi dengan meniatkan segala perbuatan kita hanya untuk beribadah, tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Taat dengan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya. Hukum yang mengatur untuk pelaksanaan ibadah itu disampaikan melalui rasul-Nya, yaitu hukum-hukum yang mengatur menyangkut hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hukum- hukum yang mengatur hubungan sesama manusia (Muamalah).

Karena hidup ini adalah ibadah, maka semua aktifitas yang dilakukan merupakan ibadah yang mengacu kepada hukum syariat. Kepatuhan terhadap syariat tentu tidak bisa dipilih- pilih, kalau daging babi haram lalu dijauhi, tentunya kalau riba haram juga harus dijauhi tanpa alasan. Karena syariat islam itu harus dijalankan semuanya, tidak hanya menjalankan yang kita sukai saja, tetapi suka atau tidak suka kalau itu merupakan kewajiban maka harus dikerjakan dan kalau itu merupakan larangan harus ditinggalkan. Allah ta’ala berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya

(kaffah)..” (QS. Al Baqorah:208).

 

Dasar Hukum

Menjalankan    kehidupan    sesuai    dengan    syariat    merupakan    sebuah    kewajiban. Ada  Ulama  yang  berpendapat  bahwa  negara  islam  adalah  negara  yang  pemimpinnya adalah orang islam, rakyatnya mayoritas islam, dan rakyatnya diberi kebebasan untuk menjalankan syariat islam, dan Undang Undang yang diterbitkan oleh negara tersebut kebanyakan mengakomodasi kepentingan umat islam atau sejalan dengan syariat islam.

Dalam  pembukaan  UUD  45  dinyatakan  bahwa  “Bahwa  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini berarti aspirasi masyarakat yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa harus diakomodasikan dalam kehidupan berbangsa.

Bahwa segala aspek dalam kehidupan umat ini adalah ibadah dan dalam  Pasal 29 ayat 2

UUD 45 disebutkan bahwa “Jaminan kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing”. Jelas bahwa negara menjamin kebebasan umat untuk melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing. Kalau umat islam menginginkan makanan yang halal, transaksi ekonomi yang halal, perniagaan yang halal dan ingin menyimpan uang pada lembaga yang halal,  itu merupakan kebebasan yang dilindungi oleh UUD 45. Semua itu sangat mungkin untuk dilaksanakan dan siapapun tidak bisa melarangnya, karena sudah dilindungi oleh UUD ini.

Fatwa MUI

Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai rumah para ulama mempunyai perhatian yang cukup agar umat Islam hidup sesuai dengan syariat Islam. Disamping sebagai lembaga yang memfasilitasi untuk produk yang dinyatakan halal, MUI juga melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menangani masalah Ekonomi dan Bisnis, telah mengeluarkan fatwa mengenai usaha-usaha yang bertentangan dengan syariat Islam.

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001) menyatakan bahwa : Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Syari’at Islam, antara lain, adalah: a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; c. Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram;

Fatwa ini memberikan batasan-batasan kepada umat Islam tentang usaha apa yang boleh dilaksanakan dan usaha apa yang tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan Syariat Islam.   Yang sangat menjadi perhatian dalam fatwa diatas adalah pada poin b, ternyata perbankan dan asuransi konvensional itu bertentangan dengan syariat Islam. Kalau perbankan konvensional bertentangan dengan syariat Islam, tentunya pilihan umat jatuh pada perbankan syariah, karena tidak bisa di pungkiri bahwa dalam kehidupan sekarang ini tidak bisa lepas dari kegiatan perbankan.

Bukan hanya Dewan Syariah Nasional (DSN) -MUI yang menyatakan bahwa perbankan dan asuransi konvensional termasuk kedalam usaha yang bertentangan dengan syariat Islam, tetapi Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa khusus mengenai hal ini melalui Fatwa No. 1 Tahun 2004.

Diktum pertama Fatwa No. 1 Tahun 2004 ini mengenai Pengertian Bunga dan Riba,  yang isinya  :  (1)  Bunga  (interest/fa’idah)  adalah  tambahan  yang  dikenakan  dalam  transaksi

pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman, tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. (2) Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.

Sedangkan Diktum kedua mengenai Hukum Bunga, yang isinya : (1) Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya. (2) Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Umumnya pembahasan mengenai haramnya bunga bank hanya melihat diktum pertama sampai diktum kedua saja. Karena bunga adalah haram, maka dengan mudahnya diambil kesimpulan bahwa tetap menggunakan lembaga keuangan konvensional tetapi tidak diambil bunganya. Pemahaman seperti ini sering dijumpai, banyak yang menggunakan lembaga keuangan konvensional dengan tidak mengambil bunganya. Dan dianggap dengan cara ini sudah terbebas dari riba. Padahal dalam diktum berikutnya dengan jelas disebutkan hukum bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional.

Dalam diktum ketiga Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 ini adalah mengenai bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional, yang isinya : (1) Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. (2) Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

 

Dalam diktum ketiga fatwa ini disebutkan bahwa, dibolehkan bermualah dengan lembaga keuangan konvensional jika tidak ada  jaringan/kantor lembaga keuangan syariah dan kalau dalam kondisi darurat. Artinya kalau tidak ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah tetapi belum dalam kondisi darurat, maka belum dibolehkan bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional. Saat ini, kantor/jaringan lembaga keuangan syariah sudah tersedia dimana-mana, apalagi di kota kota besar, tetapi pada kenyatannya tetap saja masih sedikit yang menggunakan lembaga keuangan syariah.

 

UU Tentang Perbankan Syariah

Undang-undang yang mengatur tentang perbankan syariah di Indonesia yaitu UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Menurut UU ini Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya. Dan Kegiatan usaha dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. Prinsip Syariah sebagaimana  dimaksud,  difatwakan  oleh  Majelis  Ulama  Indonesia  (MUI).  Fatwa  Majlis Ulama Indonesia (MUI) dijadikan sebagai pedoman dalam menjalan prinsip syariah pada perbankan syariah di Indonesia.

Fatwa merupakan sebuah upaya ulama untuk merespon masalah yang dihadapi masyarakat yang memerlukan keputusan hukum. Dasar hukum fatwa adalah al-Quran, Hadits dan Ijtihad. Kecenderungan  penalaran  yang  dilakukan  oleh  para  ulama  dalam  menjawab  suatu permasalahan terkait  erat dengan ijtihad atau legal opinion.  Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam al-Quran surat Al-Nahl ayat 43, yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Ayat

tersebut   merupakan aturan tentang bagaimana seseorang diperintahkan untuk bertanya sesuatu jika tidak atau memerlukan kepastian hukum kepada orang yang mengetahui.

Untuk konteks ini,  penerapan fatwa MUI  untuk  masalah perbankan syariah merupakan amanah UU dan bukan hanya sekedar himbauan, karena sudah dinyatakan langsung dalam UU, sehingga bersifat mengikat secara hukum formal.

Untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan  dengan  Prinsip  Syariah  meliputi  kegiatan  usaha  yang  tidak  mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. (Penjelasan UU No. 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah).

Masih dalam penjelasan UU tersebut, disampaikan bahwa Sebagai UU yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam UU ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Kementrian Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.

Melihat dari fakta ini, sebenarnya sudah siap sarana pendukung untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat,  mulai dari perlindungan UU sampai kepada tahapan teknis yang memberikan jaminan bahwa perbankan syariah adalah sesuai dengan prinsip Hukum Islam. Hanya saja mungkin belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh umat.

 

Instrumen Pendukung Ekonomi Umat

Meskipun sudah diatur dalam UU, bahwa perbankan syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Tetapi tetap saja masih ada keraguan dalam masyarakat terhadap penerapan syariah, karena baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah sama-sama diawasi oleh Otoritas jasa Keuangan (OJK) sehingga mendapatkan perlakuan yang sama. Sehingga banyak yang berpendapat bahwa bank syariah dengan bank konvensional saja.

Pendapat  ini  bisa  dibantah  dengan  melihat  langsung  website  Otoritas  Jasa  Keuangan (OJK). Di dalam website Otoritas Jasa Keuangan ini disebutkan dengan jelas bahwa : Prinsip-Prinsip Syariah yang dilarang dalam operasional perbankan syariah adalah kegiatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : (https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang- syariah/Pages/Prinsip-dan-Konsep-PB-Syariah.aspx)

  • Maisir: Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam  praktik  perjudian  seseorang  dapat  memperoleh  keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman  Allah  Ta’ala  yang  artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)

Pelarangan maisir oleh Allah Ta’ala dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang  usaha  yang  dilakukannya.  Sedangkan  ketika  tidak  beruntung  seseorang

dapat mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem keuangan Islam.

 

  • Gharar :  Menurut  bahasa  gharar  berarti  pertaruhan.  Menurut  istilah  gharar  berarti sesuatu yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.  Pelarangan gharar karena memberikan efek negative dalam kehidupan karena gharar merupakan praktik pengambilan keuntungan secara bathil.  Dalil  yang  melarang  gharar  diantaranya  :“Dan  janganlah  sebagian  kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu  dengan jalan  yang  batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah : 188)

 

  • Riba: Makna harfiyah dari kata Riba adalah pertambahan, kelebihan, pertumbuhan atau peningkatan. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Para ulama sepakat bahwa hukumnya riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 130 yang melarang kita untuk memakan harta riba secara berlipat ganda. Sangatlah penting bagi kita sejak awal pembahasan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapat di antara umat Muslim mengenai pengharaman Riba dan bahwa semua mazhab Muslim berpendapat keterlibatan dalam transaksi yang mengandung riba adalah dosa besar. Hal ini dikarenakan  sumber  utama  syariat,  yaitu  Al-Qur’an  dan  As-Sunnah  benar-benar melaknat riba.

 

Bahkan dalam sebuah paragraph pada website OJK tersebut (diakses tanggal 31 Desember

2021)  ditegaskan bahwa : “Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf

Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga,  kecuali  dalam  keadaan  darurat  atau  terpaksaBahkan  menurut  Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya”. Secara lengkap dapat dibaca dalam website tersebut.

Pernyataan yang  menyatakan  bahwa perbankan  syariah sama saja dengan  perbankan konvensional karena sama-sama dibawah OJK adalah pendapat yang tidak benar, secara lengkap dapat dipelajari dalam website OJK ini.

Perangkat pendukung untuk melaksanakan hidup sesuai dengan syariat sudah cukup tersedia, berikutnya sangatlah tergantung kepada masing-masing individu. Perlu kita ingat bahwa menjalani kehidupan sesuai dengan syariat itu bukanlah pilihan tetapi merupakan kewajiban. Kalau semua umat Islam menyimpan uangnya pada perbankan syariah, melakukan perniagaannya melalui koperasi syariah, itu merupakan awal dorongan untuk kebangkitan ekonomi, tentunya ekonomi syariah atau ekonomi Islam sebagaimana yang dibutuhkan oleh umat.

 

Ada satu alasan lagi yang sering dijumpai, mengapa masih menggunakan perbankan konvensional, yaitu karena transfer gaji menggunakan perbankan konvensional. Ada karyawan atau pegawai yang ingin gajinya ditransfer melalui bank syariah, kadang-kadang ini mendapat hambatan, karena instansi tempat bekerja biasanya sudah menentukan bank tertentu untuk digunakan sebagai transfer gaji. Padahal dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 11 Tahun 2016 dalam pasal 14 ayat (3) menyebutkan bahwa Pengajuan SPM Gaji lebih dari 1 (satu) Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , harus terdiri dari

 

Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah.   Menurut peraturan Menteri Keuangan ini, pegawai atau karyawan bebas untuk menentukan, apakah gajinya di transfer melalui bank konvensional atau bank syariah, tidak boleh ada pemaksaan harus melalui bank tertentu menurut PMK No. 11 Tahun 2016 ini. Umat sudah bisa membuat pilihan, bahwa gajinya harus di transfer melalui bank syariah, sehingga tidak ada istilah terpaksa transfer gaji melalui bank konvensional.

 

Pendorong Kemajuan Ekonomi

Pada kenyataanya perbankan syariah pada saat ini belum menjadi pilihan, karena umat belum banyak yang mengetahui tentang hukum bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional.  Sebab lainya adalah  masih kalahnya fasilitas yang tersedia pada perbankan syariah  dibanding  dengan  perbankan  konvensional,  dan juga  perbankan  syariah  masih berbiaya tinggi sebagai akibat dari sedikitnya nasabah. Tetapi seharusnya umat tidak menjadikan ini sebagai alasan, karena ini menyangkut halal dan haram. Biaya tinggi dan kurangnya fasilitas  bukan  merupakan  parameter  kesyariahan  yang  seharusnya menjadi pertimbangan.

Perbankan syariah akan berkembang kalau umat ini menyimpan uang pada perbankan syariah, sehingga biaya menjadi rendah dan fasiliitas bisa ditingkatkan, kemudian ekonomi syariah akan terdorong untuk lebih berkembang, karena perbankan merupakan salah satu penggerak ekonomi. Nasabah bank syariah saat ini masih sekitar delapan persen dan fakta juga menunjukkan bahwa, hampir semua nasabah bank syariah merupakan nasabah bank konvensional juga, dan sangat sedikit yang hanya memiliki rekening pada bank syariah saja. Meskipun sudah ada fatwa tentang hukum bermuamalah dengan lembaga perbankan konvensional, ternyata fatwa ini belum membawa pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan perbankan syariah.

 

Peran MUI

MUI sudah berperan mulai dari  membuat fatwa tentang kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariat Islam, fatwa mengenai bermuamalah dengan lembaga keuangan syariah dan fatwa mengenai produk-produk lembaga keuangan syariah yang dikeluarkan oleh DSN- MUI. Namun hal tersebut masih dipahami atau diketahui oleh sedikit orang saja, untuk itu MUI perlu melakukan sosialisasi mengenai fatwa-fatwa diatas. Bisa saja terjadi pengurus atau  perangkat-perangkat  organisasi     MUI  masih  banyak  yang  masih  menggunakan lembaga keuangan konvensional, yang sudah difatwakan haram oleh MUI sendiri, sangat baik kalau MUI bisa memberikan contoh terlebih dahulu.

Fatwa fatwa MUI tersebut bisa disosialisasikan lebih intens di internal MUI, agar mempunyai presepsi yang sama, sehingga mudah melakukan dakwah kepada pihak luar. Fatwa-fatwa ini bisa dijadikan tema dakwah yang disampaikan dalam dakwah terbuka maupun melalui khutbah jumat. Dengan sendirinya, MUI akan sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi syariah. Negara dengan jumlah berpenduduk muslim terbesar di dunia ini sangat potensial sebagai tempat tumbuhnya ekonomi syariah, tetapi kenyataanya saat  ini Indonesia  hanya  menempati posisi ke sembilan aset  Keuangan Syariah Dunia (Kahar Mulyani : 2019:4).

MUI juga bisa menghimbau kepada DKM masjid, agar tidak menyimpan uang sedekah umat pada lembaga keuangan ribawi, kas masjid yang jumlahnya tidak sedikit itu seharusnya ditempatkan   pada   lembaga   keuangan   syariah.   Ini   merupakan   bentuk   nyata   dari implementasi fatwa-fatwa MUI  tersebut.

Dengan melakukan sosialisasi fatwa fatwa itu melalui pengajian-pengajian dan khutbah- khutbah, berarti MUI sudah ikut mendorong pertumbuhan ekonomi syariah dan sekaligus ikut mencegah merajalelanya riba yang sudah terjadi dimana-mana.

Sebagaimana kita ketahui bahwa riba termasuk dosa besar yang mencelakan. Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasalam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh hal yang mencelakakan”. Para sahabat bertanya,”Apa saja ya Rasulullah?”. “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatin, lari dari peperangan dan menuduh zina.” (HR. Muttafaq ‘alaihi).

Memakan riba berarti mengajak perang Allah dan Rasul, sesuai dengan surat Al Baqarah sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-

279).

Peran Strategis MUI ini sangat diperlukan, agar umat tidak kembali mengambil riba, karena Allah  mengancam  orang-orang  yang  kembali  mengambil  riba  dalam  surat  Al  Baqarah sebagai berikut : “…Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni- penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya“. (QS. Al-Baqarah: 275).

 

Semoga peran strategis MUI ini bisa terlaksana dengan baik dan didukung oleh semua komponennya, agar umat bisa menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat, yang akan mengurangi praktik ribawi, pada akhirnya akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi syariah. Wallahu ’alam.

oleh : Dr. Ir. H. Kahar Mulyani, MM.

 

Sumber :

 

Fatwa DSN-MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001

Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004

Peraturan Menteri keuangan (PMK) No. 11 Tahun 2016

Tafsir Ibnu Katsir Juz 27

UU  No. 21 Tahun 2011 Tentang Perbankan Syariah

Website Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *