Oleh A. Hajar Sanusi.

“Allahumma inna nas’aluka bi haqqi al-nabiy al-ummy alladzi wa`adtana an tukhrijahu lana fi akhir al-zaman illa nashartana `alayhim” (Ya Allah, kami mohon kepada-Mu. Demi nabi yang ummi, yang Engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami pada akhir zaman, menangkanlah kami dalam peperangan atas mereka).
Kutipan di atas adalah “mantera” yang diwiridkan Yahudi Khaibar, ketika mereka berperang melawan Arab Ghathfan. Peperangan itu akhirnya dimenangkan Yahudi dengan gemilang. Perlu dicatat, bahwa nabi ummi yang mereka maksudkan dalam doa tawasul itu, adalah nabi Muhammad Saw. Walaupun kemudian mereka mengingkari kenabiannya. Adapun yang menjadi sebab utama pengingkaran mereka, adalah karena mengikuti hawa nafsu. Mereka menginginkan nabi akhir zaman itu berasal dari ketururan Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan yang muncul adalah dari keturunan Ismail bin Ibrahim. Jelas hak prerogatif Allah tentang kenabian, berselisih dengan hawa nafsunya. Maka tidak heran kalau kemudian Alqur’an mengecam ihwal mereka: “Dan setelah datang kepada mereka Alqur’an dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya biasa mereka memohon (kedatangan nabi itu) untuk memperoleh kemenangan atas orang-orang kafir. Maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka telah ketahui, lantas mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar” (QS. al-Baqarah: 89).
Yang jadi pertanyaan adalah, dari mana Yahudi mendapat informasi bahwa pada akhir zaman akan dibangkitkan nabi yang ummi?
Tentu saja jawabannya adalah dari Tawrat dan Injil –dua kitab langit yang diturunkan sebelum Alqur’an al-Karim.
Bahkan menurut Vidyarthi dan Dawud (2006), kehadiran kangjeng Rasulullah Saw di pentas sejarah dunia sejatinya telah direkam dan diramalkan dalam kitab-kitab agama non-Ibrahimik, semisal Zoroasterisme, Hinduisme dan Budhisme.
Bahwa kebangkitan nabi Muhammad Saw sudah diinformasikan dalam Tawrat dan Injil, terang merupakan satu dari banyak keistimewaan nabi yang satu ini. Simaklah misalnya keterangan Alqur’an berikut ini.
“Dan sungguh Alqur’an itu benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam; Yang dibawa turun oleh Jibril; Ke dalam hatimu (Muhammad), agar engkau menjadi bagian dari para pemberi peringatan; Dengan bahasa Arab yang jelas; Dan, sungguh Alqur’an itu telah disebut dalam kitab-kitab terdahulu; Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. al-Syu`ara: 192-197). Baca pula pertelaan ihwal kehidupan Rasulullah Saw bersama pengikutnya, yang menurut Alqur’an telah dilukiskan dalam Tawrat dan Injil (QS. al-Fath: 29).
Perlu juga dicatat, bahwa nabiyullah Isa bin Maryam, bahkan telah menyebut secara ekplisit nama utusan yang akan datang pasca-kenabian dirinya itu. “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: Wahai anak cucu Israil ! Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab sebelumku, yaitu Tawrat. Dan, aku memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, namanya Ahmad (Muhammad). Namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, mereka lantas berkata: Ini adalah sihir yang nyata” (QS. al-Shaff: 6). Kabar tentang hal penting ini terdapat pula dalam ayat Alqur’an berikut ini: “Yaitu orang-orang yang mengikuti rasul, nabi ummi, yang namanya termaktub di dalam Tawrat dan Injil yang ada pada mereka… (QS. al-A`raf: 157).
Sampai di sini jelas sekali, bahwa pengetahuan Yahudi dan juga Nashrani tentang nabi ummi itu bersumber dari kitab samawi yang mereka sendiri yakini kebenarannya. Namun demikian jika keterangan tersebut sekarang tidak dapat kita temukan di dalamnya, maka yang pasti Alqur’an tidak bakalan berdusta.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menjadi hak Rasulullah Saw atas ummatnya? Jika kita elaborasi ayat Alqur’an yang kita kutip terakhir (QS. al-A`raf: 157), maka diketahui sedikitnya ada 4 (empat) macam hak Rasulullah Saw, yang pada gilirannya menjadi kewajiban Ummat untuk memenuhinya.
Pertama, Mengimani kerasulan Muhammad Saw. Kita dituntut untuk percaya bahwa beliau adalah utusan Allah. Ini merupakan kewajiban yang paling utama. Dan, karena beliau penutup para nabi, “khatam al-anbiya” (QS. al-Ahzab: 40), maka iman kepadanya berarti pula iman kepada seluruh nabiyullah (simak QS. al-Baqarah: 285; al-Nisa: 160-151; al-Syura: 13).
Kita patut bersyukur karena hak ini telah tertunaikan. Kenapa kita mesti bersyukur? Sebab, berkat hidayah Allah Swt kita menjadi minoritas yang telah mengimani kepada kenabiannya (QS. al-Hujurat: 12), di tengah lautan manusia yang mayoritas ingkar (QS. Yusuf: 103). Selain telah beriman, derajat keimanan kita ternyata dinilai memiliki kekhususan (baca: Istimewa), dibandingkan dengan keimanan mereka yang hidup semasa dengan beliau.
Simaklah keterangan ini. Pada suatu hari Rasulullah Saw ziarah ke sebuah maqbarah (makam). Setelah menyampaikan salam kepada penghuninya dan menyatakan bahwa pada suatu saat beliau pun akan menyusul mereka, lalu berkata: “Aku rindu sekali berjumpa dengan ikhwan kami.” Keruan para sahabat terheran-heran. Karena itu mereka bertanya: “Bukankah kami ini saudara-saudaramu, ya Rasalallah?” Beliau menjawab: “Kalian memang sahabatku. Tetapi saudara-saudaraku adalah mereka yang belum tiba sepeninggalku.” Pada kesempatan lain Rasulullah Saw bersabda: “Ummat yang paling besar kecintaannya kepadaku ialah mereka yang datang sesudahku. Setiap orang dari mereka ingin berjumpa denganku, walaupun harus mengorbankan keluarga dan hartanya.” Inilah alasan mengapa keberimanan kita keoadanya patut disyukuri. Selain semata-mata karena kasih sayang Allah Swt. Juga, keimanan pasca-kenabian mempunyai nilai tersendiri.
Kedua, memuliakan martabat Rasulullah Swt. “Falladzina amanu bihi wa `azzaruhu” (Adapun orang-orang yang beriman kepadanya dan mereka memuliakannya). Memuliakan Rasulullah Saw tidak sekedar menunaikan haknya, melainkan juga dalam waktu yang sama kita mengikuti “teladan” Allah Swt.
Perhatikan Alqur’an baik-baik, bagaimana Allah Swt memuliakan utusan-Nya yang satu ini. Allah Swt tidak pernah memanggil dengan menyebut langsung namanya. Misalnya, wahai Muhammad !! Yang demikian itu tidak pernah. Kecuali dalam kalimat berita (QS. Ali Imran: 144; al-Ahzab: 40; al-Fath: 29).Tetapi Allah Swt hampir selalu memanggilnya dengan menyebut fungsi dan atau posisinya. Misalnya, seperti: ” Wahai Nabi,” atau, “Wahai Rasul,” dlsb. Hal itu sangat berbeda dengan panggilan untuk utusan Allah lainnnya. Misalnya sekedar contoh: “Wahai Adam,” “Wahai Nuh,” “Wahai Ibrahim,” “Wahai Dawud,” “Wahai Zakariya,” “Wahai Isa,” “Wahai Yahya,” dlsb.
Bahkan yang lebih menakjubkan adalah, ketika Allah Swt menitahkan kita untuk bershalawat kepadanya. Sebelum memerintahkan Allah Swt sendiri melakukannya terlebih dahulu. Simaklah keterangan berikut ini: “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang yang beriman ! Bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam kepadanya dengan penuh penghormatan” (QS. al-Ahzab: 56). Logikanya, berperilaku tidak santun kepada nabi, bukan sekedar mengabaikan haknya. Melainkan juga bertentangan dengan cara Allah Swt memuliakan insan yang satu ini. Maka tidak heran kalau seseorang bersikap vulgar ketika bergaul bersamanya maka ia akan mendapatkan kecaman keras. Bahkan, seluruh amal salih yang selama ini mereka kerjakan, terancam gugur (Baca QS. al-Nur: 63; al-Hujurat: 2-4).
Ketiga, membela keselamatan dan kehormatan Rasulullah Swt. Sependek yang saya ketahui, sedikitnya ada dua bentuk serangan yang harus dilawan kaum Muslim. Yakni, bersifat fisik dan non-fisik. Serangan pertama sudah dihadapi para sahabat dengan mengagumkan. Mereka menjadi perisai hidup Rasulullah Saw, baik ketika perang berlangsyng, maupun pada saat genjatan senjata terjadi. Adapun kewajiban menangkis serangan berupa non-fisik –misalnya, seperti narasi dan visualisasi yang bernuansa pelecehan– tentu saja berada di pundak generasi pasca-sahabat; Termasuk kita, kaum Muslim zaman kiwari.
Sebagaimana diketahui serangan non-fisik sampai saat ini masih sering kita temukan, baik dalam publikasi prosa dan atau puisi. Malahan tidak jarang dalam bentuk orasi yang dikemas dalam medsos. Bagaimana caranya? Selain dengan membangun narasi tandingan, bisa juga dengan dakwah mencerahkan dan re-edukasi khalayak tanpa ikut-ikutan mencaci mereka. Lebih elok kalau melalui jalur hukum; Karena negara kita adalah negara hukum. Dengan begitu berarti kita telah menunaikan haknya. Jika diam saja dan bungkam seribu bahasa, maka yang demikian itu secara tidak langsung berarti kita sudah satu perahu dengan para penoda kehormatan Rasulullah Saw.
Keempat dan terakhir, mengkuti ajaran yang dibawanya. Sangat berlimpah perintah Allah dalam Alqur’an agar kaum beriman mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah Saw.
Kini ajaran beliau sudah terkodifikadikan dalam Alqur’an dan Alsunnah. Tugas kita selanjutnya adalah, mempelajari dan memahami baik secara tekstual dan kontekstual. Lalu mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupan keseharian, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Demikianlah paparan sederhana ini mudah-mudahan mampu menggerakkan hati siapa saja untuk memuliakan, membela kehormatan dan mengikuti ajaran Rasulullah Saw. Jika ekspektasi mewujud maka tujuan penulisan sudah tercapai.
Akhirnya, perlu juga kita dengar cerita Abu Dzar al-Ghifari. Menurutnya, suatu malam Rasulullah Saw bangun untuk melakukan shalat. Beliau terus menerus membaca ayat: “In tu`adzibhum fa innahum `ibaduk. Fa in taghfir lahum fa innaka al-`aziz al-hakim.” Artinya, “Jika Engkau mengazab mereka, maka mereka adalah hamba-Mu. Apabila Engkau mengampuni mereka, maka Engkau sungguh Mahaperkasa dan Mahabijaksana” (QS. al-Maidah: 118). Selesai shalat Abu Dzar bertanya: “Ya Rasulallah, tidak henti-hentinya engkau membaca ayat itu sampai subuh?” Nabi Saw menjawab: “Sesungguhnya aku bermohon kepada Allah, agar diperkenankan memberi syafa`at buat Ummat-ku. Dan, Allah memberikan perkenanan-Nya. Syafaatku insya Allah akan mencapai siapa saja yang tidak mempersekutukan-Nya (HR. Ahmad).
Semoga kita termasuk dalam golongan yang akan memperoleh syafa`at Rasulullah Saw. Tentu saja dengan jalan memenuhi pelbagai hak yang lekat pada dirinya. Wallahu A`lam.

Bandung, 21-10-21.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *