Oleh : Asep Djamaludin

Ketua Bidang Fatwa dan Konsultasi Keagamaan MUI Kota Bandung

Pertanyaan demi pertanyaan sering kali disampaikan kepada kami Bidang Fatwa berkenaan dengan “Harta Campur Kaya”  di Jawa Barat disebut juga harta guna-kaya, di Jawa Timur disebut gono-gini, di Minangkabau disebut harta-suarang, dan di Banda Aceh disebut Hareuta seuhareukat, yakni harta yang dihasilkan suami-istri setelah terjadi akad nikah untuk memenuhi kepentingan hidup berumah tangga. Ada yang beranggapan bahwa pembagian “Harta Campur Kaya” itu adalah adat sehingga tidak terdapat dalam kitab  “Faraidh/Mawaaris” pembagian yang jelas berkenaan dengan harta Campur Kaya tersebut.

Memang benar , pembagian  harta “Campur Kaya” tersebut tidak termasuk masalah faraidh atau mawarits, karena harta tersebut tidak mutlak menjadi  “harta warisan”, karena harta warisan harus dibagi sesuai dengan bagiannya masing-masing, termasuk istri kalau suami yang meninggal, atau suami kalau istrinya yang meninggal, sementara harta “Campur Kaya” adalah merupakan harta milik bersama antara suami dan istri. Oleh karena itu, membagi harta campur kaya harus dilakukan sebelum terjadi pembagian warisan, kecuali kalau meninggalnya bersamaan antara suami dan istri seperti kecelakaan dll.

Syari’at Islam tidak menganut paham Matrilineal, Patrilineal maupun Parental, namun Syari’at Islam memiliki cara tersendiri sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dalam Syari’at Islam kedudukan istri dalam sebuah keluarga tidak sama dengan kedudukan hamba sahaya di mata majikannya yang keseluruhannya milik majikan termasuk dirinya, tetapi istri memiliki hak tersendiri dari seorang suami, untuk itu apa yang dilakukan istri di rumah dinilai sebagai usaha/bekerja yang berhak mendapatkan imbalan yang sesuai dengan pekerjaannya.

Contoh, ketika kita memiliki Pembantu/asisten rumah tangga, berapa upah/gajih yang harus kita keluarkan setiap bulannya ? Atau ketika kita punya anak, kemudian kita mempekerjakan babysitter/pramusiwi, berapa upah/gajih yang harus kita keluarkan setiap bulannya ? Sementara istri yang kerja dan tanggung jawabnya jauh lebih besar dari pada mereka meskipun hanya di rumah tidak mendapatkan penghargaan dari suaminya? Begitu pula istri yang bekerja di luar rumah dari jam 07.00 (misalnya) sampai dengan jam 14.00 (kurang atau lebih), dari hasil usaha si istri tersebut suamipun mendapatkan bagian pula, karena waktu yang digunakan oleh istri adalah hak/milik suami, meskipun suaminya tidak ada di rumah waktu istri bekerja, tetapi pekerjaan istri di luar rumah akan mempengaruhi kekhidmatannya terhadap suami tatkala suami berada di rumah karena cape, lelah dan lain sebagainya.

Untuk itu, meskipun tidak ada keterangan yang jelas tentang pembagian harta “Campur Kaya” tersebut, tetapi Allah SWT. telah memberikan isyarat yang jelas bahwa istri mendapatkan hak dari hasil usahanya itu, sebagai mana keterangan-keterangan di bawah ini :

 

Al-Qur’an Surat An-Nisa/4 ayat ke : 32

“ … bagi orang laki-laki (suami) ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (istripun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa/4 : 32)

 

Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq/65 ayat ke : 6

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى . (الطلاق/ ٦٥ : ٦)

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Ath-Thalaq/65 : 6)

 

Zainuddin al-Manawi dalam kitab Faidhul al-Qadier Syarah al-Jaami’u ash-Shaghier  :

… أَنَّهٗ لاَ يَجِبُ عَلَيْهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ نَحْوِ طَبْخٍ أَوْ اِصْلَاحِ بَيْتٍ وَغَسْلِ ثَوْبٍ وَنَحْوِهَا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيُّ. (زين الدين المناوي، فيض القدير شرح الجامع الصغير، الجزء : ٣ ، صحيفة : ٥١٨ )

… sesungguhnya tidak wajib atas seorang istri apa yang biasa dilakukan seperti memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian dan sebangsanya, ini adalah pendapat Madzhab asy-Syafi’i. ( Zainuddin al-Manawi, Faidhul al-Qadier Syarah al-Jaami’u ash-Shaghier, Juz : 3, Halaman : 518 )

 

Al-Mawardi, dalam kitab al-Hawi al-Kabier :

… وَهَكَذَا حُكْمُهَا إِذَا رَضِيَتْ بِالْمُقَامِ مَعَهُ عَلَى إِعْسَارِهِ مَكَّنَهَا مِنَ الِاكْتِسَابِ نَهَارًا وَاسْتَمْتَعَ بِهَا لَيْلًا وَكَانَتِ النَّفَقَةُ دَيْنًا عَلَيْهِ يُؤْخَذُ بِهَا بَعْدَ إِيسَارِهِ، (العلامة أبو الحسن الماوردى، الحاوى الكبير، الجزء : ١١، صحيفة : ١۰٤٢ )

… dan demikianlah hukumnya, apabila istrinya itu ridha tinggal bersama suaminya dalam keadaan miskin, suaminya memberikan kelonggaran kepada istrinya untuk bekerja atau berusaha pada siang hari, dan menggauli istrinya pada malam hari, dan nafkah (yang dihasilkan istri) menjadi hutang bagi suaminya yang bisa diambil setelah suaminya mampu (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabier / 11 : 1042)

 

Syamsuddin Al-Qurthubi, dalam kitab  Al-Jaami’u Liahkaami al-Qur’an :

وَالْأَظْهَرُ أَنَّهَا فِي الزَّوْجَاتِ فِي حَالِ بَقَاءِ النِّكَاحِ، لِأَنَّهُنَّ الْمُسْتَحِقَّاتُ لِلنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَالزَّوْجَةُ تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ وَالْكُسْوَةَ أَرْضَعَتْ أَوْ لَمْ تُرْضِعْ، …. (شمس الدين القرطبي، الجامع لأحكام القرآن، الجزء : ٣/١٦۰، دار الكتب المصرية – القاهرة، ١٣٨٤ هـ – ١٩٦٤ م )

Adapun menurut pendapat yang paling jelas bahwa upah tersebut diberikan kepada istri-istri yang tetap berada dalam ikatan pernikahan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan nafkah dan pakaian. Dan istri berhak mendapatkan nafkah dan pakaian apakah dia menyusui atau tidak menyusui , (Syamsuddin Al-Qurthubi, Al-Jaami’u Liahkaami al-Qur’an), Juz : 3 Halaman : 160, Daar al-Kutub al-Mishriyyah– Mesir, 1384 H. – 1964 M.)

 

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen al-Masyhur yang disyarahi oleh al-Sayyid Ahmad bin Umar al-Syathiri dalam kitab Bughiyyatu al-Mustarsyidien :

اِخْتَلَطَ مَالُ الزَّوْجَيْنِ وَلَمْ يُعْلَمْ ِلأَيِّهِمَا أَكْثَرُ وَلاَ قَرِيْنَةَ تُمَيِّزُ أَحَدَهُمَا وَحَصَلَتْ بَيْنَهُمَا فُرْقَةٌ إِلَى أَنْ قَالَ نَعَمْ إِنْ جَرَتْ الْعَادَّةُ الْمُطَّرِدَةُ أَنَّ أَحَدَهُمَا يَكْسِبُ أَكْثَرَ مِنَ اْلآخَرِ كَانَ الصُّلْحُ وَالتَّوَاهُبُ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقُوْا عَلَى شَيْئٍ مِنْ ذَلِكَ مِمَّنْ بِيَدِهِ شَيْئٌ مِنَ الْمَالِ فَاْلقَوْلُ قَوْلُهُ بِيَمِيْنِهِ أَنَّهُ مَلَكَهُ فَإِنْ كَانَ بِيَدِهِمَا فَلِكُلٍّ تَحْلِيْفُ اْلآخَرِ ثُمَّ يُقْسَمُ نِصْفَيْنِ. (السيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين المشهور مع حاشية السيد أحمد بن عمر الشاطري،  الجزء الثالث، الصفحة : ٣١٧ ، دار الفقيه، ٢۰۰٦ م)

“Telah bercampur harta benda suami istri dan tidak diketahui milik siapa yang lebih banyak, dan tidak ada tanda-tanda yang dapat membedakan salah satu dari keduanya, dan telah terjadi antara keduanya firqoh (cerai) s/d … betul. Apabila telah terjadi kebiasaan/ adat yang berlaku, bahwa salah satu dari keduanya lebih banyak kerja kerasnya (cara mendapatkannya) daripada satunya, maka perdamaian (suluh) dan saling member atas sesama. Apabila tidak ada kesepakatan atas sesuatu dari harta yang dikuasai suami, maka yang dibenarkan adalah pendapat suami dengan disertai sumpah bahwa harta itu miliknya. Apabila harta itu ditangan keduanya maka masing-masing menyumpah yang lainnya kemudian hartanya dibagi dua“. (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husen al-Masyhur ? al-Sayyid Ahmad bin Umar al-Syathiri, Bughiyyatu al-Mustarsyidien, Jilid III, halaman : 317, Daar al-Fiqieh, 2006)

 

Muhammad bin Ahmad dalam Kitab Al-Mabsuth :

الشَّرِكَةُ نَوْعَانِ : شَرِكَةُ الْمِلْكِ وَشَرِكَةُ الْعَقْدِ .

( فَشَرِكَةُ الْمِلْكِ ) أَنْ يَشْتَرِكَ رَجُلَانِ فِي مِلْكِ مَالٍ ، وَذَلِكَ نَوْعَانِ : ثَابِتٌ بِغَيْرِ فِعْلِهِمَا كَالْمِيرَاثِ ، وَثَابِتٌ بِفِعْلِهِمَا ، وَذَلِكَ بِقَبُولِ الشِّرَاءِ ، أَوْ الصَّدَقَةِ أَوْ الْوَصِيَّةِ .وَالْحُكْمُ وَاحِدٌ ، وَهُوَ أَنَّ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْ الزِّيَادَةِ يَكُونُ مُشْتَرَكًا بَيْنَهُمَا بِقَدْرِ الْمِلْكِ ، وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَنْزِلَةِ الْأَجْنَبِيِّ فِي التَّصَرُّفِ فِي نَصِيبِ صَاحِبِهِ . (محمد بن أحمد بن أبي سهل شمس الأئمة السرخسي، المبسوط، الجزء : ١١ ، الصفحة : ١٥١ ، دار المعرفة – بيروت، ١٤١٤هـ-١٩٩٣م)

Syirkah itu ada dua macam, yaitu : Syirkah Milik dan Syirkah ‘Aqad

(Adapun Syirkah Milik) yaitu  dua orang yang bersama-sama memiliki harata,  dan itu terbagi dua, yaitu kepemilikan yang tetap tanpa melakukan usaha bersama seperti harta warisan, dan kepemilikan yang tetap dengan melakukan usaha bersama, dan itu terjadi dengan jual beli, shadaqah atau wasiat, hukumnya satu, yakni tambahan yang muncul dari modal itu merupakan harta milik bersama di antara mereka berdua sesuai dengan pokok kepemilikannya, masing-masing mereka berdua menempati mposisi yang lain dalam mengolah harta bagiannya. (Muhammad bin Ahmad, Al-Mabsuth, juz XI, halaman : 151, Daar al-Ma’rifah – Bairut, 1414 H./1993 M.)

 

Syekh Husnain Muhammad Makhluf dalam kitab Al-Mawarits fi al-Syari’ati al-Islamiyyah :

فإن حق الزوجة تعلق بعينها في حياته فكانت بذلك أحق بها من غيرها، فما كان كذلك لا يعد عندهم من التركة لثبوت تعلق حق الغير به قبل صيرورته تركة، وما فضل بعد ذلك من الأموال هو الذي يسمى تركة، وهو الذي يتعلق به حق الميت في التجهيز وحقوق الدائنين والموصى لهم والورثة.  (الشيخ حسنين محمد مخلوف، المواريث في الشريعة الإسلامية، الصفحة : ١١ ، دار الفضيلة)

Sesungguhnya hak seorang istri berkaitan dengan jenis hartanya sendiri ketika suaminya masih hidup, oleh karena itu, seorang istri lebih berhak terhadap harta itu dari pada yang lainnya, maka harta yang seperti itu mereka (para ulama) tidak memasukkannya ke dalam tirkah, karena adanya keterkaitan dengan hak orang lain sebelum menjadi tirkah. Adapun harta selebihnya setelah dikeluarkan hak orang lain, itulah yang disebut tirkah, yakni harta yang berkaitan dengan hak jenazah dalam pemulasaraan, hak-hak orang-orang yang menghutangkan, hak orang yang mendapatkan wasiat dan hak ahli waris. (Syekh Husnain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi al-Syari’ati al-Islamiyyah, halaman : 11, Daar al-Fadhilah, tanpa tahun).

 

Memperhatikan keterangan-keterangan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa :

  1. Seorang istri dianggap bekerja meskipun hanya mengerkan pekerjaan rumah tangga atau mengurus anak.
  2. Seorang istri yang bercerai dari suaminya karena suaminya meninggal dunia atau ditalak, dia berhak mendapatkan bagian dari harta yang diusahakannya semenjak nikah sampai terjadi perceraian.
  3. Istri mendapatkan setengah dari harta “Campur Kaya” sebagai mana keterangan-keterangan di atas dan ketentuan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, sebagai mana tertuang dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB XIII, Pasal : 96

(1)  Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

 

والله أعلم بالصواب

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *