Buya Dr. Agus Syihabudin, MA.
Dosen Agama Islam ITB
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Kota Bandung
*Soal*
Buya, bolehkah seseorang berqurban untuk orangtuanya yang sudah meninggal?
Salman.
*Jawab*
Berqurban adalah merupakan ibadah yang ditaklifkan (dibebankan) oleh Allah SWT kepada setiap muslim. Perintah ibadah tersebut tertuang eksplisit dalam Al Qur’an surat Al-Kautsar ayat 1-2:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”.
Nabi Muhammad SAW memberi penegasan atas perintah berqurban tersebut dengan memperingatkan bagi yang berkemampuan secara ekonomi untuk menuaikan kurban sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis yang bersumber dari Abu Hurairah:
“Barangsiapa mempunyai keluasan (rizki untuk berkurban) tetapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat kami bersembahyang.” (HR. Ibnu Majah no. 3123).
Dalam penjelasan Nabi di atas terkandung petunjuk bahwa kewajiban berkurban tersebut ditaklifkan (dibebankan) bagi yang mempunyai daya. Daya yang paling utama tentunya adalah daya hidup. Maka yang telah wafat, tidaklah termasuk dalam objek taklif karena tidak lagi memilik daya hidup. Sementara yang hidup pun belum tentu termasuk ke dalam mukallaf (yang dibebani kewajiban) sekiranya tidak memiliki daya penunjangnya, yakni ekonomi. Hal demikian tiada lain karena berkurban bukan merupakan kewajiban sebatas praktika jasadi seperti salat melainkan terkait dengan nilai ekonomi.
Apakah seseorang boleh berkurban untuk yang wafat. Jawabnya bahwa suatu ibadah itu bukanlah soal boleh atau tidak boleh, tapi berhubungan dengan kewajiban yang mesti dijalankan. Sementara kewajiban beribadah yang disyariatkan agama harunsya bersumber dari adanya perintah dari Allah SWT, sebab menyembah Allah adalah merupakan hak Allah atas hambaNya. Tanpa perintah Allah untuk melakukan sesuatu perbuatan demi menyembahNya maka tiadalah sesuatu perbuatan itu menjadi ibadah. Para ulama sebagaimana digagas Ibnu Taimiyah membuatkan paradigma beribadah yang dirumuskan dalam suatu kaidah: “Bahwa pada pokoknya suatu ibadah itu terlarang sehingga terdapat dalil yang menunjuk pada kewajibannya” (Lihat: Muhamad bin Husain al Jaizani, Dirasat wa Tahqiq Qa’idah al Ashlu fi al ‘Ibadat al Man’u).