Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy.
Anggota Bidang Pendidikan dan Pelatihan MUI Kota Bandung Periode 2021-2026
A. PENDAHULUAN
Ekonomi Islam merupakan bagian integral dari Agama Islam. Sebagai derivasi dari Islam.[1]Ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami.
Banyak ayat al-Quran dan Hadits yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi ini. Firaman Allah dan sabda Rasulullah tentang ekonomi terkait erat dengan aturan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam kegiatan ekonomi tersebut, disamping berhubungan dengan aspek hukum, juga terkait erat dengan aspek etika atau akhlak.[2]Dalam Islam, ekonomi harus halalan thayyiba[3], dilarang bermegah-megaahan, berlebihan dan boros,[4] dilarang kikir,[5] dilarang riba,[6] bathil, gharar, dan zhulm.[7]
Islam memberikan keleluasaan kepapada umatnya untuk mengekprolasi kekayaan alam bahkan mengekploitasinya untuk kebutuhan mereka dengan catatan jaga keseimbangan dan keseraisiannya.[8] Umat manusia diberikan mandat untuk mengelolanya, namun pada saat yang bersamaan diperintahkan untuk menjaga keserasian dan kelestariannya. Islam juga, melalui ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi, memberikan rambu-rambu pemanfaatan sumber daya diantaranya berupa kewajiban untuk menjaga hubungan dengan lingkungan manusia dan lingkungan alamnya. Amanah dari Allah, Zat yang menciptakan alam semesta dan Zat yang memberikan amanah untk istikhlaf[9] (pendayagunaan) dengan menjaga hubungan yang harmoni antara ekonomi, alam dan manusia, dan pada akhirnya, bermula dari Allah dan berakhir dengan pertanggungjawaban kepaada-Nya.[10]
B. EKONOMI ISLAM
Para ahli ekonomi Islam banyak memberikan pengertian ekonomi Islam menurut istilah (terminologi) yang beragam,[11] Yusuf Qaradhawi memberikan pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan Islam, tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah segala bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta kekayaan, baik dalam sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada praktik-praktik ajaran Islam.
M.A. Mannan memberikan pengertian Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilainilai Islam. Sementara itu, M. Syauqi Al-Faujani memberikan pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi. Selanjutnya, Khursid Ahmad mengemukakan bahwa, ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.” Lalu, M.N. Siddiqi menjelakan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”
Ekonomi dan sistem ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali. Karena kajian ilmu ekonomi terfokus kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep) yang menjadi azas kegiatan ekonomi itu sendiri.[12]Secara epistemologis, Ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu;[13] Pertama, Ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Cakupannya adalah: 1) Kepemilikan (al-milkiyyah); 2) Pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi almilkiyyah), dan 3) Distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nās). Bagian ini merupakan pemikiran yang terikat nilai (value-bond) atau valuational, karena diperoleh dari sumber nilai Islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah, melalui metode deduksi (istinbath) hukum syariah dari sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam normatif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut sistem ekonomi Islam (an-nizhām aliqtishādi fi al-Islām).
Kedua, Ekonomi Islam positif, yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasīlah) yang digunakan dalam proses produksi barang dan jasa. Bagian ini merupakan pemikiran universal, karena diperoleh dari pengalaman dan fakta empiris, melalui metode induksi (istiqra’) terhadap fakta-fakta empiris parsial dan yang beriman akan melihat pekerjaan itu”. Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw: “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”. Generalisasinya menjadi suatu kaidah atau konsep umum.[14] Bagian ini tidak harus mempunyai dasar konsep dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tapi cukup disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Ekonomi Islam positif ini oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut ilmu ekonomi Islam (al-‘ilmu aliqtishādi fi al-islām).[15]
C. TUJUAN EKONOMI ISLAM
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, kemaslahatan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya[16]. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir, Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
- Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
- Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
- Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).[17]
Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar atau kulliyah al-khamsah, yaitu: 1) Keselamatan keyakinan agama (ad-dīn), 2) Kesalamatan jiwa (an- nafs), 3) Keselamatan akal (al-`aql), 4) Keselamatan keluarga dan keturunan (an- nasl), dan 5) Keselamatan harta benda (al-māl).
Dalam ekonomi Islam, kebutuhan individu dan masyarakat cenderung saling melengkapi dan dipupuk hubungan yang sangat erat diantara keduanya. Kesejahteraan individu mencerminkan kesejakteraan masyrakat, dan sebaliknya. Manusia mencoba berusaha melakukan harmonisasi yang sempurna antara kebutuhan individu dan kebutuhan masyarakat semata-mata untuk mencari ridha Allah.[18]
D. PRINSIP-PRINSIP SISTEM EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam diibaratkan sebuah bangunan yang terdiri atas landasan, tiang dan atap. Landasannya terdiri dari lima komponen, yaitu: 1) Tawhid (berlandaskan keimanan kepada Allah), 2) `adalah (keadilan), 3) Nubuwwah (kenabian; bahwa dalam ekonomi Islam yang menjadi pondasnya adalah sifat-siat kenabian, yaitu kebenaran, kejujuran, kecerdasan dan menyampaikan), 4) Khilāfah, dan Ma`ad (return), al-falah oriented.
Pilar-pilarnya terdiri dari tiga hal, yaitu: 1) Pengakuan akan multi ownership, Freedom To Act, kebebasan berekonomi selama tidak melanggar prinsip-prinsip syariah (al- ashlu fī al-mu`āmalah al-ibāhah), dan 3) Social justice, dalam arti bahwa dalam rezeki halal yang diperoleh ada hak orang lain. Dan yang menjadi atapnya atau puncaknya adalah akhlak.[19] Kualitas akhlak atau moralitas yang dilandasi oleh ketaatan kepada Allah, kerjasama, persaudaran, kekluargaan, kemurahan hati, dan kasih sayang antar sesama manusia. Peningkatan kualitas moral akan membantu meningkatkan keseimbangan dalam kehidupan ekonomi.[20]80
Menurut Hasan Al-Banna, mengutip Abdul Hamid Al-Ghazali, system ekonomi Islam berpijak pada sepuluh prinsip sebagai berikut:
- Menjadikan harta yang potensial sebagai tulang punggung kehidupan dan kewjiban bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
- Kewajiban bekerja dan mencari penghasilan bagi stiap orang yang mampu.
- Menyingkap sumber-sumber kekayaan alam dan kewajiban untuk mendayaguakannya
- Pelarangan sumberr-sumber penghasilan yang kotor.
- Mendekatkan berbagai kelompok social untuk menghilangkan kemewahan yang melimpah ruah dengan kemiskinan yang mencekik.
- Penghargaan terhadap harta dan penghormatan terhadap hak milik.
- Penataan transaksi-transaksi hata benda dan ketelitian dalam urusan uang.
- Jaminan social.
- Penegasan tagging jawab Negara dalam melindungi system ekonomi Islam.
- Pelarangan menyalahgunakan wewenang.[21]
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:[22]
- Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
- Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
- Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
- Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
- Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
- Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
- Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
- Islam melarang riba dalam segala bentuk.
E. EKONOMI DAN LINGKUNGAN (ALAM) DALAM PERSFEKTIF ISLAM
Manusia memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan hidup.[23] Lingkungan hidup, tidak lain adalah ciptaan Allah. Oleh karena itu harus dipahami secara utuh dan menyeluruh (holistik). Lingkungan hidup disebut sebagai ssuatu yang utuh, karena mempuyai bagian-bagian. Ada lingkungan alam (tanah, air, udara, tumbuhan, dan hewan), ada lingkungan binaan manusia (kota, desa, perkebuna, industri), dan ada lingkungan hidup social dimana manusia bermasyarakat. Sebaliknya komponan-komponen tersebut itu disebut demikian karena merupakan bagian dari suatu keutuhan. Jadi lingkungan hidup merupakan sistem keutuhan yang menyatu dengan keberadaan, perjuanga hidup, dan perkembangan peradaban serta masa depan manusia.
Sebagai anggota dari sejenis mahluk ciptaan Tuhan di persada bumi, walaupun dalam kehidupan ini berstatus sama dengan status mahluk hidup yang lain, tetapi manusia menyandang kewajiban yang berbeda dari ciptaan Tuhan yang lain itu. Hal ini disebabkan manusia dilebihkan oleh penciptaan dengan “kesempurnaan” akal dan fikiran (noosfir = alam fikiran). Justru karena itu maka evolusi atau sejarah perkembangan manusia sangat berbeda dengan perkembangan makhluk hidup yang lain.
Dengan kelebihan akal pikiran manusia dalam perjuangan hidupnya mengembangkan ilmu engetahuan dan teknologi, tidak saja untuk keselamatan diri tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan serta mengembangkan kebudayaan dan jati diri manusia. Dalam pandangan Islam besarnya tanggung jawab manusia itu karena manusia merupakan puncak ciptaan dan makhluk Allah yang tertinggi. “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”[24]
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaan-Nya yang paling baik; bedanya lurus keatas, cantik parasnya, mengambil dengan tangan apa yang dikehendakinya; Manusia diberi akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian.sehingga dapat berkreasi dan menguasai seluruh alam dan binatang.
Dalam ayat lain juga ditegaskan kelebihan manusia dari makhluk lain. “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”[25]
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa dia telah memuliakan Adam dan keturunannya, dengan raut muka yang indah, potongan serasi dan diberi akal, agar dapat menerima petunjuk, mengelola kekayaan alam baik didarat, dilaut, maupun di udara. Dengan martabatnya yang demika tinggi, maka manusia dijadikan khalifah di bumi ini, “Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[26] Kekhalifahan manusia untuk membimbing, memelihara, da mengarahkan segala sesuatu agar mencapai tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad saw melarang memetik buah sebelum siap dimanfaatkan. Juga mengajrkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu. Al-Quran tidak mengenal istilah “penaklukan alam”, karena secara tegas meyatak bahwa yang menaklukan alam hanyalah Allah. Dengan kedudukan sebagai khalifah maka diberikan tanggung jawab yang besar yaitu diserahi bumi ini dengn segala isinya. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu” [27]
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah telah menganugrahkan karunia yang besar kepada manusia, menciptakan langit dan bumi untuk manusia untuk mengambil manfaatnya, sehingga manusia dapat menjaga kelangsungan idupnya dan agar manusia berbakti kepada Allah, kepada keluarga dan masyarakat. Firman Allah dalam al-qur’an: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”[28]
Selanjutnya Allah menunjukan bagaima pula nikmat Allah yang tak terhingga itu dilimpahkan kepada manusia, “Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).[29]”
Betapa banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Allah telah menciptakan langit dan bumi yang kejadiannya jauh lebih besar dan sulit dari kejadian manusia, yang selalu diperhatikan oleh manusia dan pada kedua terdapat pelajaran yang bermanfaat. Jika direnungkan dan tata ruang angkasa yang begitu rapi, maka semakin terasa kerdilnya manusia itu, dan betapa agung dan besarnya Allah Yang Maha Pencipta segalanya.
Apa yang telah ditegaskan Allah dalam firman-firmannya di atas adalah untuk mengingatkan manusia agar bersyukur. Karena walaupun manusia diciptakan melebihi makhluk lain, manusia tidak mampu memenuhi keperluannya sendiri tanpa bahan-bahan yang disediakan Allah. Dalam pemenuhan biologis dasar, misalnya, Allah menyuruh manusia berfikir dan introspeksi. “Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya? Kalau kami kehendaki, niscaya kami jadikan dia asin, Maka mengapakah kamu tidak bersyukur?”[30]170
Hal ini perlu disadari oleh manusia, sebab tanpa memiliki rasa dan sikap syukur kepada Allah, maka manusia cenderung merusak. Karena kemampuan meningkatkan kesejahteraan dirinya hampir tak terbatas. Upaya meningkatkan kesejahteraan itu seringkali tanpa disadari menjurus pada keserakahan yang dalam kesadaran atau ketidaksadarannya akan mendatangkan bumerang bagi dirinya sendiri. Keserakahan itu juga menimbulkan sikap “aji mumpung”, kehidupan duniawi selanjutnya seolah-olah tidak terpikirkan lagi atau seolah-olah dunia akan segera kiamat sehingga tidak memperdulikan kerusakan akibat perbuatannya. Oleh karena itu Allah mengajarkan agar manusia memiliki keseimbangan hidup. “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[31]Kegiatan ekonomi seorang Muslim dalam perilaku produksi selayaknya dilakukan secara berkesinambungan tanpa melakukan kerusakan. Produsen Muslim tidak tergoda oleh kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom yang menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan, berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi.
F. HUBUNGAN EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN (ALAM) DALAM PERSFEKTIF ISLAM
Timbulnya kerusakan alam atau lingkungan hidup merupakan akibat perbuatan manusia.[32]Karena manusia yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.[33]Manusia mempunyai daya inisiatif dan kreatif, sedangkan makhluk-makhluk lainnya tidak memilikinya.[34]
Kebudayaan manusia makin lama makin maju sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan kemajuan tersebut, perkembangan persenjataan dan alat perusak lingkungan maju pula. Oleh karena itu sejak awal Allah memperingatkan akan adanya ulah manusia tersebut. Allah berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”[35]
Kerusakan yang terjadi sebagai akibat keserakahan manusia ini disebabkan manusia memperturutkan hawa nafsunya, tidak memperdulikan tuntunan Allah. “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang Telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Sesungguhnya Allah melarang manusia membuat kerusaka dimuka bumi ini. “Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.[36]
Dalam ayat lain, Allah memberi tuntunan agar manusia tidak menuruti orang yang membuat kerusakan. “ Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.[37]
Demikianlah tuntunan Allah bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap lingkunga hidup kita dan Allah menjanjikan pahala yang tiada taranya bagi kita yang senantiasa memelihara dan melestarikan lingkungan hidup serta tidak selalu membuat kerusakan.
G. HUBUNGAN EKONOMI, SOSIAL, LINGKUNGAN (ALAM) DAN TUHAN PERSFEKTIF ISLAM
Manusia adalah khalifatullah di muka bumi,[38]mereka diberi amanah oleh Sang Pemberi mandate untuk memakmurkannya. Kekhalifahan manusia untuk membimbing, memelihara, da mengarahkan segala sesuatu agar mencapai tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad saw melarang memetik buah sebelum siap dimanfaatkan. Juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu. Al-quran tidak mengenal istilah “penaklukan alam”, karena secara tegas meyatak bahwa yang menaklukan alam hanyalah Allah. Dengan kedudukan sebagai khalifah maka diberikan tanggung jawab yang besar yaitu diserahi bumi ini dengn segala isinya. Allah Swt. berfirman: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”[39]
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah telah menganugrahkan karunia yang besar kepada manusia, menciptakan langit dan bumi untuk manusia untuk mengambil manfaatnya, sehingga manusia dapat menjaga kelangsungan idupnya dan agar manusia berbakti kepada Allah, kepada keluarga dan masyarakat. Dalam ayat lain, Allah memberi tuntunan agar manusia tidak menuruti orang yang membuat kerusakan, “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan”.[40]
Sebagai motivasi, Allah telah menjanjikan kebahagiaan akhirat bagi orang yang tidak berbuat kerusakan atau bahkan melarang orang berbuat kerusakan. “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”[41]
Dalam kesempatan lain, Allah menunjukan nikmat Allah yang tak terhingga itu dilimpahkan kepada manusia, “Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”[42]
Betapa banyak nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Allah telah menciptakan langit dan bumi yang kejadiannya jauh lebih besar dan sulit dari kejadian manusia, yang selalu diperhatikan oleh manusia dan pada kedua terdapat pelajaran yang bermanfaat. Jika direnungkan dan tata ruang angkasa yang begitu rapi, maka semakin terasa kerdilnya manusia itu, dan betapa agung dan besarnya Allah Yang Maha Pencipta segalanya. Apa yang telah ditegaskan Allah dalam firman-firmannya diatas adalah untuk mengingantkan manusia agar bersyukur. Karena walaupun manusia diciptakan melebihi makhluk lain, manusia tidak mampu memenuhi keperluannya sendiri tanpa bahan-bahan yang disediakan Allah.
Allah Swt. mewajibkan kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah-Nya untuk mengambil dari harta orang-orang yang kaya sebagai sedekah, untuk kemudian diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”[43]
Berbagi dengan sesama meluai penunaian kewajiban zakat akan memberikan keuntungan tersendiri kepada mereka, karena zakat itu memasukkan mereka ke surga, membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda dan zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.[44]
Dalam ayat lain Allah Swt. menjelaskan bahwa harta kekayaan tidak boleh menumpuk dan berputar di tangan seseorang atau satu kelompok tertentu saja, Allah berfirman, yang artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”[45]
Islam memendang aktivitas ekonomi secara positif, semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketakwaan kepada Tuhan tidak berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi. Sebaliknya justru membawa seseorang untuk lebih produktif.[46] Islam memosisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatka kemuliaan, yang hanya dapat doperoleh jika Islam dijalankan secara menyeluruh. Agama Islam memberikan tuntutan bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan Allah dan bagaimana manusia melaksanakan kehidupan bermasyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, bernegara, berekonomi, bergaul antarbangsa dan sebagainya.
Konsistensi dan koherensi ajaran Islam antaraspek kehidupan diwujudkan dalam bentuk kesatuan antar keyakinan, perbuatan (amal), dan akhlak. Amal dibedakan kedalam dua bagian besar, yaitu: ibadah dan muamalah. Kegiatan ekonomi merupakan bagia dari muamalah dan harus didasarkan kepada akidah yang benar agar kegiatan ekonominya berakhlak dan bermoral. Berkaitan dengan ini, sebagai perwujudan dari keimanan dan janji setia umat kepada Rasulullah diantaranya koherensinya antara shalat sebagi ibadah dan zakat sebagai mu’amalah dalam ikrar kesetiaan yang dilakukan oleh sahabat.
H. SIMPULAN
Islam telah menjadikan falsafah ekonominya berpijak pada upaya untuk menjalankan aktivitasnya dengan berpegang pada perintah dan larangan Allah. Dengan kata lain Islam telah menjadikan ide yang dipergunakan untuk membangun “pengaturan urusan kaum muslimin” dalam suatu masyarakat, dalam kehidupan adalah menjadikan aktivitas mengejar kemakmurannya tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah sebagai suatu aturan agama.
Ekonomi Islam berdiri diatas satu konsep, yaitu menjadikan aktivitas ekonomi berdasarkan hukum syara’ dengan dorongan ketakwaan kepada Allah. Islam memberikan pondasi ekonominya diatas tauhid, keadilan, kekhilafahan, kenabian, dan pertanggungjwaban di akhirat kelak. Ekonomi Islam juga, dalam operasionalisasinya berpedoman pada pengakuan atas keberagaman tipe kepemilikan, kebebasan aktivitas ekonomi, serta keadilan social, dengan puncak etiknya adalah menjunjung tinggi akhlak yang dibuktikan dengan ekonomi keseiombangan. Tawazun, I’tidal dan tawazun. Senantiasa ada anjuran dan penghargaan terhadap keserasian hubungan ekonomi, manusia dan alam.